Pages

Reportase Jurnalistik Fenomena Bali dalam Sebuah Bali Benteng Terbuka

Judul               : Bali Benteng Terbuka 1995-2005 : Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral, dan Identitas-Identitas Defensif              
Penulis             : Henk Schulte Nordholt
Pengantar        : AA GN Ari Dwipayana
Penerjemah      : Arif B. Prasetyo
Penerbit           : Pustaka Larasan
Tahun              : Cetakan pertama Juni 2010
Halaman          : xxx-120


“Mereka takut pembangunan fisik yang tidak terkontrol serta pesatnya perluasan sektor pariwisata dapat menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran,” keluh wakil pakar berbagai sektor seperti pariwisata, ekonomi, pertanian, dan lain-lain dalam bab pertama yang berjudul Mencari Kestabilan dalam buku ini.

            Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Begitulah judul buku dengan cover berlatar klasik berupa pintu ukiran bali lengkap dengan kunci gembok sebuah minuman produksi luar negeri yang juga menggantungkan huruf I dari kata Bali. Buku yang ditulis oleh Henk Schulte Nordholt ini merupakan rangkuman kajian kontemporer terhadap Bali sejak tahun 1995-2005. Fokus penulisan pada buku ini lebih condong ke arah politik. Sajian politik yang diulas dengan apik dalam buku ini memberikan pandangan kepada pembaca mengenai bagaimana caranya melihat aktivitas politik, yang sesungguhnya politik bukanlah milik rakyat. Politik hanya milik orang konglomerat dengan segala pencitraannya dan ambisi berkuasa. Terlebih saat ini, politik tidak jauh berbeda dengan gaya hidup atau life style. Sayang sekali dalam kenyataan ini, rakyat dilibatkan padahal rakyat sendiri sebenarnya tidak tahu-menahu dengan kegiatan politik.

            Tak hanya hal politik, buku ini juga tidak beranjak dari persoalan klasik Bali. Bali yang dilukiskan sebagai cagar budaya dengan segala dilematika nasional hingga internasional. Bali yang dicirikan oleh Henk Schulte Nordholt sebagai benteng terbuka, yang menerima pengaruh luar seraya berjuang melindungi dirinya ini mengupas bagaimana reformasi di Indonesia telah mempengaruhi hubungan kasta dan merombak hubungan kekuasaan di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga di desa. Peran geng-geng kriminal, hingga fenomena munculnya ajeg Bali juga disoroti dengan kritis oleh penulis yang merupakan seorang Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Erasmus Rotterdam yang juga menuliskan disertasi tentang sejarah sistem politik di Bali dan telah diterbitkan oleh KITLV Press tahun 1996 dengan judul The Spell of power; A history of Balinese Politics 1650–1940 ini.

            Buku yang dibagi menjadi delapan bab ulasan permasalahan ini mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam lagi mengenai Bali sebagai benteng terbuka. Bali memang membutuhkan dunia luar baik dari segi wisatawan, modal, dan tenaga kerja murah, akan tetapi disadari atau tidak rakyat pulau Bali juga merasa terancam oleh kekuatan luar seperti investor besar, dekadensi Barat, dan Islam. Namun sayang, pada buku ini ulasan-ulasan pada tiap babnya terasa sebagai ulasan realitas pulau Bali yang sudah ”biasa” dan kurang bermakna. Penulis menyajikan peristiwa-peristiwa yang menjadi laporan utama atau laporan khusus dari berbagai media yang sengaja disiapkan redaksi dalam rangka memperingati kejadian disajikan dalam buku ini sehingga menyerupai reportase jurnalistik. Tidak ada kajian yang mendalam atau penggunaan teori mutakhir dalam mengkaji permasalahan yang diulas dalam buku ini. Sehingga, buku ini lebih sebagai suatu penjelasan tentang apa yang terjadi di Bali pada kurun waktu tersebut.

            Hanya saja pada bab mengenai fenomena Ajeg Bali, Prof. Henk. menyoroti dengan kritis yang terlihat dari analisis yang tidak hanya berdasarkan informasi media surat kabar, majalah, atau opini masyarakat, tetapi Prof. Henk memverifikasi informasi yang didapatnya dengan pihak penggagas ajeg Bali, yaitu Satria Narada. Memang ada asa dengan gerakan ajeg Bali tersebut, namun menurut penulis buku ini, untuk memproteksi diri secara berlebihan melalui ajage bali ini akan berdampak kurang baik bagi Bali yang berada di wilayah NKRI. Buku yang telah diterbitkan dengan versi bahasa Indonesia ini sangat relevan dan tentunya mempermudahkan pembaca dari segala lapisan untuk mengetahui bagaimana konstruksi peta dan dinamika politik lokal di Bali khususnya sejak tahun 1995-2005. Tak hanya itu, buku ini juga mengulas efek-efek desentralisasi dan demokratisasi terhadap perpolitikan Bali, meninjau peran yang dimainkan cendekiawan urban dalam memperkuat identitas Bali, serta tawaran Schulte Nordholt tentang pertimbangan janji yang ditawarkan demokrasi local. (cah)
 
Download this Blogger Template From Coolbthemes.com