“Sejelek
itu ya tulisan saya sampai habis-habisan waktu itu dirombak..” curhat gadis itu
pada seorang senior saat Wisata Jurnalistik di Danau Buyan beberapa bulan lalu.
Untaian
kata selalu terngiang ketika ku tatap wajah gadis itu. Ada perasaan mengganjal
yang hingga detik ini ku rasakan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya serasa
menerkamku. Setiap baris yang tertulis olehnya seperti mengingatkanku akan
semua hal yang ku lakukan pada tulisan indahnya itu. Ya, tulisan indah yang
seharusnya tidak perlu dipotong sana-sini. Duh, tak indah lagi kan!
Semuanya
berawal dari sebuah ide melakukan ajang duel kelompok. Kami –anggota magang-
yang saat itu dipecah menjadi dua kelompok diwajibkan untuk menulis sebuah bulletin.
Awalnya merasa tertantang dengan kegiatan ini. Sudah cukup lama tak mengasah
otak dan jari-jari tangan yang mulai kaku. Rindu rasanya bertemu dengan
orang-orang baru yang bisa berbagi ilmu dan menginsipirasi ketika ditanya ini
itu. Saat itu tiap kelompok dipimpin oleh satu pemred (Pemimpin Redaksi) yang
tidak lain adalah senior kami yang bukan seperti kami –anggota magang-
tentunya. Okelah, pemrednya bisa diajak bekerja sama.
Berhari-hari
kami berdikskusi. Melakukan kewajiban kami masing-masing, mencari sumber
kesana-sini, ya intinya kami berjuang sematang mungkin. Totalitas. Entah, aku
sedikit melupakan kejadian saat itu. Yang ku ingat aku sempat dipercaya untuk
mengingatkan teman kelompokku akan batas waktu penulisan rubrik mereka dan juga
mengedit tulisan mereka karena mereka sendiri yang menginginkan aku menjadi ‘editor’
amatiran. Ini tidak mudah bung. Rasanya lebih
baik menjadi penulis disbanding harus membaca, mencerna, lalu memperbaiki
untain kata yang melenceng namun tetap sejalan dengan pemikiran penulis
aslinya. Rasanya saat itu ingin sekali memeluk editor yang selama ini setia
mengawasi tulisan yang ku buat. Singkatnya aku berusaha melakukan semuanya
dengan totalitas. Potong sana potong sini, tambah ini tambah itu. Tapi tetap,
mengikuti alur keinginan penulis menyampaikan maksud tulisannya. Hingga akhirnya
semua beres. BERES.
Aku benar-benar menganggap semuanya selesai hingga bulletin itu diterbitkan. Dan ternyata, sebuah luka muncul karena editor amatiran ini. Sial. Seperti membuka memori lama. Semua yang kulakukan rasanya harus dibuka perlahan, kuingat semua yang kulakukan. Ya seingatku saja tentunya.
Aku benar-benar menganggap semuanya selesai hingga bulletin itu diterbitkan. Dan ternyata, sebuah luka muncul karena editor amatiran ini. Sial. Seperti membuka memori lama. Semua yang kulakukan rasanya harus dibuka perlahan, kuingat semua yang kulakukan. Ya seingatku saja tentunya.
Oh,
jadi editor amatiran itu yang menjadikan tatapan menusuk yang kau berikan
ketika menatapku?
Rasanya
yang ku lakukan tak berlebihan. Hanya mencoba menjadi sedikit lebih diantara
kalian yang baru saja mengenal asiknya menulis. Membantu mempercantik tulisan
kalian karena memang sejak awal keputusan kalian yang membuatku melakukan semua
itu. Sebagai manusia ya aku juga berusaha membela diriku sekaligus berusaha memperbaiki
diri. Waktu memang berhasil membuat semuanya sirna, tapi tatapan itu. Entah memang
aku yang terlalu gede rasa atau mungkin kau juga merasa hal yang sama, kau masih tak terima akan semuanya.
Ya,
terimakasih untuk pecutanmu. Kau dan tulisanmu memang cantik. Tanpa harus
dipercantik lagi. Dan itu cukup membuatku terbangun dan sadar akan tujuan
awalku ada di dalam satu payung bersama nona cantik sepertimu. Bukan
menjadi nona tercantik, melainkan untuk
mempercantik tingkah dan hati senada
dengan untaian kata indah kita.