Pages

Tanpa Judul

"Aku jatuh cinta padamu diam-diam, karena aku tahu tak ada hari yang akan kita kenyam."Malam ini sepertinya hari terakhir aku menulis ini untukmu. Sangat berharap setelah ini aku bisa benar-benar mengikhlaskan kepergianmu. Seperti biasa, sejak aku memutuskan untuk berusaha tidak berkomunikasi denganmu walaupun pada akhirnya upaya tahu diriku gagal (lagi). Ini bukan kali pertama, sudah berkali-kali aku berupaya untuk menjauh, atau sekedar berusaha untuk tidak mengecek setiap detik handphoneku, atau berharap kamu mengabariku meski hanya sekedar kata 'Hai'. Tetap saja pada akhirnya aku gagal, aku kembali menghubungimu dan kamu tetap hangat menyambutku. Rasanya seperti dibawa terbang oleh bidadari dari khayangan. Sejak pertemuan terakhir kita, pertemuan yang mana ? pertemuan saat aku berupaya melngukir senyum terakhirmu itu. Setelah beberapa minggu kita tidak bertegur sapa, aku masih ingin meilhat rupa itu untuk terakhir kalinya. Aku senang masih sempat memberikan sesuatu untukmu, semoga itu bisa membuatmu senang seperti bagaimana senangnya aku ketika menyiapkan itu untukmu. Ku pikir hari itu hari terakhir kita berjumpa. Tuhan sungguh baik, masih saja dia membuatku bahagia. Menemani-mu berbelanja ini itu, menyiapkan segala kebutuhanmu disana sungguh membuatku merasa tak karuan. Disatu sisi aku merasa sangat senang, merasa menjadi orang yang kau sayang ketika masih sempat-sempatnya kau bercanda denganku, kau menarik-narikku seperti anak kecil, sekedar memegang tanganku seakan takut aku tersesat ditengah keramaian, atau sesekali mengelus-elus rambutku. Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu seperti itu denganmu. Ditambah perasaan bahagia bisa jalan-jalan bersama ibu dan adikmu itu. Kapan lagi kita bisa seperti ini ?Selepas hari itu, selepas kepulanganku dari hari itu aku merasa seperti itu kebahagiaan terakhir yang paling indah yang sengaja Tuhan beri untukku. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi kecemasan, tak ada lagi keraguan, tak ada lagi rasa sayang yang harus dipaksakan. Sepertinya itu semua yang diharapkan-Nya setelah dia memberikan segala keindahan itu berturut-turut kepadaku secara nyata tanpa perlu aku berhara hal ini terjadi padaku sebelumnya. Ya, dan ternyata memang semua seperti yang ku pikirkan. Aku berjalan sendiri, tepatnya aku selalu merasa sendiri walaupun aku bisa saja jungkir balik tertawa dan menjaili semua teman-temanku. Aku merasa memang saatnya sekarang aku fokus untuk menenangkan hatiku.Perjalanan ini masih panjang. Aku tidak tahu pastinya bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku. Aku tidak tahu apa besok kamu masih ada dimimpiku atau benar-benar telah jadi debu. Aku mencoba berjalan di jalanku, sesekali menengokmu, ya jika kupikir aku merindukanmu aku bersyukur masih punya kotak terindah. Kotak ingatan akan semua kenangan indah. Jangan paksa aku untuk melempar kotak ini ke pantai, atau menguburnya di bawah tanah, jika kau sudah siap pergi, lakukanlah. Aku sudah cukup bahagia dengan kotak yang ketika ku rindu dapat kubuka dimanapun, kapanpun aku berada.Senang rasanya bisa melihatmu bahagia, bertumbuh dewasa, begitu semangat mengejar cita-cita, begitu angkuhnya aku ketika ingin menghentikan itu semua hanya karena sebuah rasa. Pergilah, selamat menjalani hidup yang lebih indah. Tak ada lagi aku yang merengek-rengek ini itu kepadamu. Aku juga ingin sepertimu, yang begitu luar biasa dimataku. Suatu saat jika Tuhan masih berbaik hati pada kita, semoga masih disisakannya serpihan hati yang diciptakannya dulu untuk kita saling melempar canda tawa. Satu hal yang perlu kau inget, aku setia mendoakan yang terbaik bagimu. 


Percuma

"Saya punya telinga, lengkap bisa mendengar, tapi sayang kehilangan Sang Pendengar membuat saya seperti tuli. Saya punya mata, lengkap sepasang, tapi sungguh menyebalkan ketika Sang Indra tidak bisa lagi melihat mata saya bercerita, atau mungkin saja saya bermasalah dengan lensa. Saya punya mulut, bisa berteriak dan mengoceh setiap saat, tapi teramat malang saat Sang Lawan memilih diam dan tidak ingin berbicara, mungkin dalam waktu yang tak bisa ditentukan. saya punya tangan, sangat suka menulis ini itu, mencubit sembarang orang, tapi kini Sang Penerima telah beku, tangannya kaku. saya punya kaki, bisa berjalan dan berlari, tapi bisa bantu saya untuk pergi ? Ketika Sang Raja tak menyambut lagi. Dan yang terakhir, saya punya hati, rasanya masih bisa berfungsi, masih bisa merasakan cinta sejati, meskipun Sang Kunci beranjak pergi, perlahan dengan pasti tak mendengar lagi, atau sekedar menoleh melihat saya lagi, apalagi untuk mengajak berceloteh panjang lebar, segalanya telah kaku, cubitan tak mempan lagi. Hai raja, mana kuncinya? segala indra telah mati, percuma aku berkata lagi."

Hujan

Hujan. Begitu deras sore ini di depan rumahku. Aroma hujan memang selalu membuatku senang. Baunya khas dan tentunya menenangkan. Aku butuh hujan lebih banyak. Lebih banyak hujan sama halnya lebih banyak ketenangan. Hujan ini membuatku tak mendengar bisingnya suara itu. Hujan ini membuatku tertahan dan terdiam sejenak. "Hai hujan, aku kehabisan waktu untuk bisa bermain-main denganmu. Aku terlalu khawatir akan sakit jika aku harus mengejarmu. Hai hujan, lebih deraslah lagi. Hingga saat kau berhenti, aku berani untuk menatap pelangi," 
 
Download this Blogger Template From Coolbthemes.com